Oleh. Adnan Aprilianto Soni, S. Farm.,MM
Bikasmedia.com – Ketersediaan obat digambarkan sebagai komponen logistik perbekalan kesehatan. Obat merupakan kebutuhan mendasar yang paling penting dipenuhi, jika tidak terpenuhi akan mengancam kehidupan manusia. Obat dapat diperoleh pada Fasilitas pelayanan kesehatan yaitu Rumah Sakit, Klinik dan Puskesmas yang wajib menyediakan sesuai regulasi guna mendukung proses pengobatan.
Secara umum masyarakat datang berobat di Puskesmas sebagai fasilitas pelayanan kesehatan tingkat pertama. Tentunya seluruh logistik perbekalan kesehatan bersumber pada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Bercerita di bidang kesehatan, Minggu lalu saya tak sengaja bertemu kawan di sebuah warung kopi dan kawan saya berprofesi sebagai petugas kesehatan di salah satu puskesmas. Kawan saya bercerita ”lagi pusing nih bro.,logistik ditempat pelayanan lagi tidak stabil”. Mendengar statement tadi, langsung terlintas di pikiran saya pasti ada masalah pada sektor urusan dapur. Dinamika internal yang terjadi pada pelayanan publik itu sudah dianggap sebagai hal biasa, tetapi tidak menjadi biasa jika dalam lingkup skala prioritas atau bersifat urgensi.
Suatu kali, ada pengalaman yang membuat saya teringat betapa sulitnya kondisi jika pada suatu pelayanan kesehatan memiliki masalah adanya ketidakstabilan logistik yang berdampak terhadap mutu pelayanan.
Peristiwa yang sering terjadi yaitu kondisi Stagnant dan Stockout pada ketersediaan obat, sehingga memicu kerugian secara medis dan nonmedis. Stagnant yaitu keadaan ketika jumlah persediaan obat lebih tiga kali jumlah pemakaian rata-rata. Sedangkan Stockout merupakan keadaan ketika jumlah sisa persediaan kurang dari pemakaian rata-rata.
Apa saja kerugian jika terjadi Stagnant dan Stockout pada ketersediaan obat?
Kerugian pada Kondisi Stagnant (1) menyebabkan stok obat tidak terdistribusi secara lancar karena kebutuhan user (dokter) lebih sedikit dari jumlah ketersediaanya, hal ini memungkinkan terlalu lama obat dalam penyimpanan dan di khawatirkan obat tersebut habis masa pakainya (Expired Date). (2) dapat memberikan kerugian terhadap biaya (Cost) yang sudah dianggarkan oleh instansi namun tidak terealisasi sesuai kebutuhan.
Entahlah, apakah kondisi diatas biasa terjadi di faskes lainnya. Lanjut lagi, berbeda dengan kondisi Stockout, dimana kondisi ini sangat fatal jika tidak dapat perhatian dari stakeholder yang berwenang. (3) Paling urgensi yaitu terjadinya kekosongan obat, sehingga menurunkan kulaitas layanan, citra, kepuasan serta loyalitas pasien kepada Fasilitas pelayanan kesehatan.
Pasien berhak mendapatkan layanan yang paripurna terutama pada jaman JKN yang diselenggarakan oleh BPJS Kesehatan, bahwa setiap peserta JKN berhak mendapatkan manfaat pelayanan kesehatan. Jika terjadi kekosongan obat akan bertambah kerugian masyarakat. (4) Tingginya beban masyarakat/pasien secara medis/nonmedis dan tangible cost/intangible cos, Selanjutnya dapat dipastikan bahwa pasien akan membeli obat di apotek dan toko obat untuk memenuhi kebutuhan pengobatannya.
Timbulnya prasangka Baru!
Merujuk kembali dari cerita yang telah kawan saya sampaikan menimbulkan prasangka dan pertanyaan dibenak hati paling dalam. Pertama: Apakah sistem perencanaan obat sudah sesuai kebutuhan ?; Kedua: Apakah sistem pengadaan kebutuhan obat sesuai prosedur dan tidak ditunggangi kepentingan pribadi?; Ketiga: Apakah dalam perencanaan dan pengadaan obat melibatkan SDM yang sesuai bidangnya?;
Upaya yang bisa dipertimbangkan!
Jadi sebenarnya kondisi ketidakefisiennya pengelolaan dan pengadaan obat perlu diterapkan manajemen logistik yang baik sebagai tindak lanjut pengambilan kebijakan pada setiap instansi. Perlunya dibuatnya formularium obat/BMHP sesuai tingkatan faskes, Rencana kebutuhan obat (RKO).
Tak lupa juga menerapkan metode yang sesuai pada setiap proses manajemen logistik serta mengembangkan sistem informasi yang tepat untuk mengontrol persediaan obat. Salah satunya metode Re Order Point (ROP) yaitu pengadaan dilakukan ketika stok obat sudah mencapai (buffer stock). Penyimpanan menggunakan metode Firs in Firs Out (FIFO) dan First Expired Firs Out (FEFO).
Sekarang coba lihat pada media masa sering diberitakan bahwa setiap instansi pemerintahan wajib menggunakan obat generik dibandingkan obat generik bermerek atau yang paten, karena sudah diatur dalam regulasi dan juga biaya obat generik lebih murah serta memiliki khasiat yang sama dengan obat generik bermerek/obat paten.
Pada saat di bangku kuliah saya pernah memerima materi agar bisa diaplikasikan saat sudah bekerja, dimana ada metode analisis yang sering digunakan sebagai dasar pengadaan obat untuk mengukur dan membandingkan antara biaya dan hasil dari pengobatan yaitu metode analisis Farmakoekonomi, terdiri dari Cost Effectiveness Analysis (CEA), Cost Minimization Analysis (CMA), Cost Utility Analysis (CUA) dan Cost Benefit Analysis (CUA).
Metode tersebut sangat baik digunakan dalam pembuatan kebijakan dibidang kesehatan, tetapi juga bagi tenaga kesehatan serta pasien. Selain itu dapat diaplikasikan dalam menyusun pedoman terapi hal ini dikarenakan penggunaan obat yang rasional tidak hanya mempertimbangkan dimensi aman-berkhasiat- bermutu saja, tetapi juga harus mempertimbangkan nilai ekonominya.
Terakhir ditinjau lagi dari segi sumber daya manusia di bidang kesehatan, Sebaiknya petugas perencanaan, pengadaan, pelayanan ataupun hal lain yang berkaitan dengan logistik kesehatan berupa obat atau bahan medis habis pakai (BMHP) harus terlibat tenaga professional misalnya Tenaga Farmasi, Secara keilmuan bisa dianggap tuntas mulai dari produksi, distribusi, pengelolaan, sampai dengan pelayanan. Namun hal ini perlu di dukung dengan pemahaman terkait regulasi yang mengaturnya.