Oleh: Awaluddin AK., S. HI
Bikasmedia.com, Konawe Selatan – Ketidaknetralan ASN menjadi isu yang tidak ada habisnya untuk selalu diperbincangkan terutama dalam momentum Pemilu dan Pemilihan, termasuk dalam hal bagaimana menemukan penyelesaiannya yang tentu ada relasinya dengan cause and effect analysis.
Dari hasil evaluasi terhadap data dan dokumen penanganan pelanggaran netralitas ASN pada Pemilu maupun Pemilihan sebelumnya yang dirillis dalam Rapat Koordinasi Bawaslu dengan Kepala Daerah di Kabupaten Badung Bali pada tanggal 27 September 2022, Bawaslu melalui pimpinan Bawaslu bapak Puadi mengungkapkan enam penyebab masih maraknya fenomena pelanggaran netralitas. Pertama, kaitannya dengan mentalitas birokrasi yang jauh dari reformasi. Kedua, kepentingan politik partisan ASN yang punya irisan kekerabatan atau kesukuan dengan calon. Ketiga, digunakannya Pemilu sebagai tukar guling untuk promosi jabatan. Keempat, adanya intimidasi dan tekanan orang kuat lokal yang terlalu dominan kepada ASN yang berada dalam cengkraman ekosistem yang tidak menguntungkan. Kelima, penegakan hukum yang masih birokratis, terlalu banyak melibatkan pihak dan belum sepenuhnya memberikan efek jera pada para pelaku pelanggaran atas netralitas ASN. Keenam, politisasi birokrasi yang dilakukan oleh calon peserta Pemilu.
Berbagai hipotesis pun ihwal penyebab ketidaknetralan ASN pada Pemilu maupun Pemilihan diungkapkan dalam forum kajian, diskusi, diseminasi, dan sosialisasi maupun dari hasil survei yang diinisiasi oleh Lembaga yang berwenang.
Pertama, bahwa ASN memiliki nilai tawar yang sangat menjanjikan jika dilibatkan dalam kontestasi politik oleh peserta Pemilu maupun Pemilihan karena tingkat pendidikan dan pengetahuan memadai bahkan karena kualifikasi kompetensinya sangat potensial mendapat kepercayaan menjadi tim penyusun program dan materi kampanye. Kedua, akses yang luas, tersebar diseluruh pelosok sampai pada komunitas masyarakat terkecil. Memiliki pengaruh yang kuat dalam keluarga, kelompok dan masyarakat, karena terpandang dan dipercaya dapat dijadikan referensi masyarakat dalam bertindak. Ketiga, mempunyai fungsi strategis untuk menggerakan anggaran keuangan negara, daerah dan desa melalui penyusunan program dan kegiatan. Keempat, media yang mempermudah pelaksanaan kampanye melalui pemanfaatan fasilitas negara seperti gedung, mobil, dan kewenangan.
Bentuk riil politisasi birokrasi dapat dilihat pada laporan penelitian yang dilakukan LIPI (LIPI, 2006) terhadap Pilkada langsung di Malang, Gowa, dan Kutai Kartanegara.
Hasilnya menjelaskan bahwa ada sejumlah faktor yang mempengaruhi birokrasi berpolitik, yaitu kuatnya ketokohan (personality) menanamkan pengaruh terhadap ASN, vested interest ASN untuk mobilitas karier secara cepat, lemahnya sosialisasi institusi, manipulasi tafsir regulasi, kuatnya hubungan patron-client, dan peran shadow bureaucracy. Tahun 2018, Bidang Kajian dan Pengembangan Sistem KASN meluncurkan hasil survei penyebab pelanggaran netralitas ASN dimana 43,4 persen pelanggaran netralitas ASN karena alasan untuk memperoleh atau mempertahankan jabatan dan mendapatkan materi atau proyek.
Posisi yang dilematis dan ketakutan menghambat karir menjadi dalih tidak adanya pilihan lain selain menempatkan hak politik tak ubahnya aurat politik. Terbaru, oleh KASN dalam kegiatan perilisan survei pada webinar bertajuk “Potret Netralitas Birokrasi Menyongsong Tahun Politik 2024 tanggal 16 Desember 2021, diketahui faktor dominan penyebab pelanggaran netralitas ASN adalah ikatan persaudaraan (50,76 persen) dan motif ASN untuk mendapatkan karier yang lebih baik (49,72 persen) khususnya di wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara, Sumatra, dan Kalimantan. Kemudian beberapa pihak yang paling memengaruhi ASN untuk melanggar netralitas, di antaranya tim sukses (32 persen), atasan ASN (28 persen), dan pasangan calon (24 persen). 62,7 persen responden menyatakan kedudukan kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK) menyebabkan ASN sulit bersikap netral. Kepala Daerah sebagai PPK dalam hal ini memiliki kewenangan dalam menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian, serta pembinaan Manajemen ASN.
Maka dari itu, pada hasil survei menemukan sebanyak 51,16 persen responden menginginkan hak politik ASN dicabut. Apa yang dinyatakan secara ilmiah di atas telah menjadi jawaban yang paling relevan mengapa ASN menjadi objek bagi para oknum politisi ataupun kontestan dalam Pemilu maupun Pemilihan sehingga mendorong munculnya berbagai varian “tindakan” ASN yang telah dapat dikualifikasikan sebagai sebuah perbuatan tidak patut atau melawan hukum.
Bak tradisi Annual Event
Layaknya hajatan tahunan, pelanggaran netralitas ASN seakan menjadi sajian wajib saat berlangsungnya penyelenggaraan Pemilu maupun Pemilihan. Fakta dan data ketidaknetralan ASN dari Pemilu ke Pemilihan menunjukkan kondisi yang mengkhawatirkan terlebih lagi kasusnya cenderung meningkat. Sesuai data Bawaslu secara nasional, pelanggaran netralitas ASN baik dari temuan dan laporan yang direkomendasikan oleh jajaran Bawaslu dari seluruh Indonesia ke KASN pada Pemilu tahun 2019 dengan total sebanyak 894 kasus dan cenderung meningkat setahun kemudian pada Pemilihan tahun 2020 dengan total sebanyak 1398 kasus. Motif dan kualifikasi tindakannya relatif sama dan berulang-ulang terjadi saat Pemilu maupun Pemilihan diantaranya memberikan dukungan dengan menghimbau, mengajak, dan memberikan isyarat baik secara langsung, melalui foto bersama maupun melalui media sosial/massa dengan memberikan respon berupa like, dislike dan komentar, serta menghadiri kegiatan kampanye.
Bahkan dari jumlah kasus diatas yang dilakukan jauh sebelum memasuki masa kampanye turut mendominasi. Pertama, tindakan ASN dengan melakukan, menghadiri, atau mengikuti acara silahturahmi, sosialisasi, atau bakti sosial bakal calon. Kedua, melakukan pendekatan atau mendaftarkan diri pada salah satu Partai Politik untuk menjadi calon. Ketiga, mendukung salah satu bakal calon secara langsung ataupun melalui media sosial atau media massa dengan menghimbau, mengajak, memberikan isyarat, men-share atau repost, memberikan respon berupa like, dislike atau komentar. Keempat, mendeklarasikan bakal calon, sosialisasi bakal calon melalui APK, atau mempromosikan diri sendiri atau orang lain. Kelima, mengajak atau mengintimidasi untuk mendukung salah satu calon.
Upaya menghadirkan kepastian hukum dan keadilan terhadap pelanggaran norma dasar, kode etik, kode perilaku atau disiplin ASN tengah serius dilakukan baik dalam pengaturan seperangkat norma perintah dan larangan bahkan by case telah sampai dengan penjatuhan sanksi yang bersifat adminsitratif maupun pidana namun belum memberi efek jera, tidak membangun kesadaran, dan masih jauh dari cita hukum (recht idee).
Sanksi yang diterima menjadi bagian dari bentuk komitmen loyalis yang dapat dikonversi sebagai tiket gratis dalam promosi jabatan ASN sehingga motif ini diyakini akan terus berulang disetiap momentum Pemilu maupun Pemilihan.
Konsekuensi logis dari eksistensi ASN
Penggerak utama dari birokrasi adalah pegawai pemerintah, PNS atau ASN. Menurut Max Weber bahwa system manajemen birokrasi dijalankan dengan netral tidak boleh memihak pada kekuasaan selain menjalankan kompetensi, keahlian, profeisonalitas, integritas dan susunan hierarkial yang sistematis.
WGF Hegel menambahkan, birokrasi pemerintah merupakan jembatan yang menghubungkan antara negara (the state) dengan masyarakat/rakyat (the civil society). Birokrasi berada ditengah-tengah antara kepentingan masyarakat yang bersifat khusus dengan kepentingan negara yang bersifat umum maka birokrasi harus dalam posisi netral.
Apapun dalihnya tidak ditemukan landasan yang dapat memberikan pembenaran bagi dimungkinkannya ASN untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan politik praktis artinya meskipun setiap ASN memiliki hak politik sebagai hak asasinya, namun setiap ASN dibatasi ekspresi hak politiknya. Setiap ASN berhak untuk menjaga dan menyalurkannya, tetapi tidak boleh mengumbar aurat politiknya pada sembarang tempat. Penyaluran Hak politik yang notabene hak asasi setiap orang bukan berarti bakal mengganggu atau merugikan hak orang lain.
Untuk itu penting adanya pembatasan agar tidak menimbulkan tindakan yang dapat merugikan hak orang lain sebagaimana dalam adagium hukum dikenal istilah bahwa “penikmatan hak seseorang dibatasi oleh penikmatan hak orang lain”.
Agar tetap dapat menjalankan tugas pelayanan publik, tugas pemerintahan, dan tugas pembangunan tertentu, setiap Pegawai ASN harus melakukan perenungan kembali bahwa ASN terikat pada profesi dan Manajemen ASN. Upaya menjaga netralitas ASN dari pengaruh partai politik dan intervensi bakal dan/atau calon dan pasangan calon yang bermuatan politis untuk menjamin keutuhan, kekompakan, dan persatuan ASN, serta dapat memusatkan segala perhatian, pikiran, dan tenaga pada tugas yang dibebankan, ASN dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik serta tim bakal dan/atau calon dan pasangan calon. Hal ini dimaksudkan agar dapat mencegah terjadinya keadaan dimana sulit dipisahkannya kapan saat ASN bertindak sebagai aparatur negara pelayan public dan kapan saat bertindak sebagai masyarakat yang memiliki hak suara dalam Pemilu dan Pemilihan.
Program pemerintah dapat berubah orientasi menjadi instrument reward and punishment kepada masyarakat sehingga meniimbulkan diskriminasi dalam pelayanan yang diberikan. Lahirnya maladministrasi sangat dimungkinkan terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan etika dan hukum, melampaui wewenang, menggunakan wewenang untuk tujuan lain dari yang menjadi tujuan wewenang tersebut, termasuk kelalaian atau pengabaian kewajiban hukum dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan oleh aparatur Negara atau pemerintahan.
Lantas bukan berarti pula dengan mencabut hak politik atau hak memilih ASN layaknya TNI/Polri lalu secara otomatis memberikan garansi bahwa ASN akan netral, karena dari fakta dan data Pemilu ke Pemilu menunjukkan justru faktor lain yang menjadi variable kunci yang memberi kontribusi lahirnya sebuah tindakan tidak netralnya insan birokrasi.
Alternatif Solusi
Butuh atensi bersama sebagai bentuk collective responsibility anak bangsa dengan menawarkan gagasan alternatif sekaligus kritik yang konstruktif dalam ikhtiar terus berbenah demi perbaikan menuju Pemilu dan pelayanan publik yang berkualitas. Sehingga kiranya penting untuk mempertimbangkan mengevaluasi kembali desain pengawasan netralitas ASN yang sudah ada saat ini.
Pertama, Bagi Bawaslu, netralitas ASN masih menjadi tantangan tersendiri dalam upaya mencegah potensi kerawanan tahapan maupun non tahapan yang diyakini jika tidak ada mitigasi akan berimplikasi pada tereduksinya kualitas Pemilu 2024 apatah lagi KASN memprediksi jumlah pelanggarannya berpotensi meningkat di Pemilu 2024. Sebagai otokritik, Pengawas Pemilu di semua level tingkatan harus terus didorong berinovasi mengembangkan strategi pengawasan netralitas ASN dan lebih fokus pada pendekatan pencegahan substantif, inklusif, massif dan produktif atau disebut dengan Pencegahan SIM-P.
Kedua, standarisasi atau menetapkan indikator penilaian kinerja dimana ASN harus diposisikan sebagai subjek dalam Pemilu. ASN sebagai unsur Pemerintah/Pemerintah Daerah kemudian di sisi yang berbeda sebagai masyarakat pemilih mesti diberikan tugas untuk terlibat aktif dalam penyelenggaraan Pemilu. Pasal 434 ayat (1) dan (2) huruf d Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan bahwa untuk kelancaran pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajiban Penyelenggara Pemilu, maka Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan bantuan dan fasilitas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang salah satunya berupa pelaksanaan pendidikan politik bagi pemilih untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam Pemilu dan pemantauan kelancaran Penyelenggaraan Pemilu.
Begitupula pada Pasal 448 ayat (2) huruf a dan b serta ayat (3) Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu menegaskan bahwa partisipasi masyarakat dapat dilakukan dalam bentuk sosialisasi Pemilu dan pendidikan politik bagi pemilih dengan ketentuan tidak melakukan keberpihakan yang menguntungkan atau merugikan Peserta Pemilu, tidak mengganggu proses penyelenggaraan tahapan Pemilu, bertujuan meningkatkan partisipasi politik masyarakat secara luas serta mendorong terwujudnya suasana kondusif bagi Penyelenggaraan Pemilu yang aman, damai, tertib dan lancar.
Ketiga, kewenangan Kepala Daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian saat ini di daerah kontraproduktif dengan pengembangan karir yang mendasarkan pada penilaian kinerja dan perilaku kerja seorang ASN karena di saat yang bersamaan sangat dominannya kecenderungan pressure dan interest politik dari oleh dan untuk seorang Kepala Daerah dalam menjalankan kewenangan, pengambilan tindakan dan/atau keputusan di birokrasi pemerintahan. Sesungguhnya, prinsip dasar pada ketentuan pasal 53 huruf d dan e Undang-Undang nomor 5 tahun 2014 tentang ASN menegaskan bahwa Presiden selaku pemegang kekuasaan tertinggi pembinaan ASN dapat mendelegasikan kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pejabat selain pejabat pimpinan tinggi utama dan madya, dan pejabat fungsional keahlian utama kepada gubernur di provinsi dan bupati/walikota di kabupaten/kota. Jika pun dilakukan pendekatan dari dasar pelaksanaan otonomi daerah bahwa hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri Urusan Pemerintahan tetap tidak ditemukan ihwal yang menegaskan secara eksplisit melekatkan serta merta otomatis bahwa kewenangan sebagai pejabat pembina kepegawaian di daerah didelegasikan kepada Kepala Daerah sebagaimana apa yang telah tertuang dalam pengaturan tugas dan kewenangan Kepala Daerah pada pasal 65 Undang-Undang 9 tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
Dengan demikian, karena pelimpahan kewenangan Kepala Daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian hanya bersifat opsional saja dari Presiden maka penting dipertimbangkan untuk merubah ketentuan pasal 53 huruf d dan e Undang-Undang nomor 5 tahun 2014 tentang ASN dengan melimpahkan/mendelegasikan kewenangan sebagai pejabat pembina kepegawaian sekaligus sebagai pejabat yang berwenang di daerah kepada Sekretaris Daerah.
Keempat, memperkuat kelembagaan KASN beserta kewenangannya dalam penegakkan pelanggaran norma dasar, kode etik, kode perilaku dan disiplin ASN mulai dari proses penerimaan laporan sampai dengan penyelesaiannya. Saat ini, kewenangan KASN sebatas menindaklanjuti laporan dugaan pelanggaran kode etik dan disiplin ASN melalui kajian lalu meneruskan hasilnya berupa rekomendasi kepada pejabat pembina kepegawaian. Dari perspektif hukumnya, tentu kekuatan eksekutorial rekomendasi cukup lemah.
Sementara penguatan yang dimaksudkan adalah sikap lembaga yang sifat kekuatan eksekutorial-nya tegas, dapat bersifat final dan binding (mengikat). Putusan KASN berupa penjatuhan sanksi merupakan perintah wajib yang langsung dilaksanakan oleh pejabat pembina kepegawaian di daerah. Dengan diperkuatnya pula kelembagaan, kehadiran KASN juga diharapkan dapat memangkas alur penyelesaian pelanggaran netralitas ASN yang panjang bahkan proses pemeriksaan terhadap satu perkara dari aspek formil dan materiil terkesan berulang-ulang dilakukan disetiap institusi yang berwenang. Keberadaan tim pemeriksa dan/atau majelis kode etik yang dibentuk oleh pejabat pembina kepegawaian sebagaimana saat ini masih diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah nomor 94 tahun 2021 ditiadakan lalu esensi eksistensinya dialihkan saja sepenuhnya menjadi domain kewenangan KASN.
Kelima, memperkuat sinergitas demi efektifitas pengawasan netralitas ASN dalam upaya menjamin kepastian hukum terhadap proses penindakan pelanggaran asas netralitas ASN. Untuk itu, penting mengkongkritkan eksistensi sinergitas antar lembaga dalam Satuan Tugas Terpadu pengawasan baik dalam konteks pencegahan maupun penindakan terhadap pelanggaran norma dasar, kode etik, kode perilaku dan disiplin ASN yang terdiri dari unsur Pemerintah, Bawaslu, dan Ombudsman. Wallahu a’lam bishawab
(Penulis adalah Anggota/Koordinator Penindakan Pelanggaran & Penyelesaian Sengketa Bawaslu Konawe Selatan Tahun 2018-2023)